Rabu, 06 Oktober 2010

*Kekayaan_ Alam _Indonesia*


  • harga terjangkau/murah. Begitu pula kekayaan Alam Indonesia akan dikuasai/diatur oleh Negara yang kemudian menyalurkan hasil kekayaan tersebut untuk dinikmati oleh Rakyat Indonesia dengan perbandingan dalam Anggaran adalah 85% untuk Rakyat & 15% untuk Aparatur Negara.
  • Semua yang bekerja sebagai Aparatur Negara akan terukur & accountable sesuai profesionalisme, latar belakang pendidikan & skill (ketrampilan) baik dari segi penggajian maupun dari segi posisi pekerjaan & jenjang/rank pekerjaan.
  • Pembangunan & penyediaan Rumah yang layak, disediakan gratis bagi setiap warga Indonesia yang belum memiliki Rumah yang layak. Dimaksudkan nantinya setiap Kepala Rumah Tangga memiliki minimal satu rumah yang layak huni.
  • Listrik, layanan Telpon & Air Bersih disediakan gratis oleh Negara.
  • Pembangunan/penataan Kota sampai Desa diatur oleh Negara sehingga ANDAL (Analysis Dampak Lingkungan) dari jaringan Listrik, Air, Telpon, Gas, Satelit, Pemancar/BTS Televisi & Radio, Jalanan/Road, & fasilitas umum lainnya, diatur secara terpadu & terstruktur agar dapat berdaya-guna, efisien, & aman, dengan tujuan agar seluruh fasilitas itu dapat dinikmati secara merata dari Kota sampai Desa.
  • Pengangkatan sebanyak mungkin PNS (Pegawai Negeri Sipil) & ABRI, demi perlindungan & pengelolaan kekayaan Alam Indonesia serta batas-batas wilayah Negara, juga demi melaksanakan program pendidikan gratis, kesehatan gratis, listrik air telpon gratis, serta layanan perbankan, & layanan birokrasi lainnya yang membutuhkan existence/keberadaan Aparatur Negara di seluruh wilayah Indonesia pada pos/tempat kerja masing-masing.
  • Pengelolaan kekayaan Negara, seperti minyak, emas, timah, nikel, gas alam, hutan, hasil laut & seluruh explorasi kekayaan Alam Indonesia diatur oleh Negara & dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat (i.e. seperti yang tercantum di atas yaitu dengan perbandingan 85% untuk Rakyat & 15% untuk Aparatur Negara).
Seluruh point di atas dapat dicapai dengan 5 landasan, yaitu:
  1. Menjadikan Manusia sebagai aset & bukan beban.
  2. Menjadikan Alam sebagai modal untuk dimanfaatkan oleh Manusia.
  3. Membuat Sistem/Program Kerja agar Alam dapat dimanfaatkan demi kehidupan Manusia.
  4. Mencetak Uang yang dibutuhkan sebagai alat untuk mengakses perputaran Sistem/Program Kerja tersebut di atas.
  5. Mengharapkan berkah & pertolongan Sang Pencipta Alam Semesta ini agar seluruh cita-cita kemakmuran terwujud.
Ini akan terwujud jika YWL jadi Presiden, karena hanya Presiden yang mampu menggerakkan & melakukan perubahan/pengaturan Sistem Negara. Dan hanya YWL sebagai Presiden yang mampu mewujudkan cita-cita itu, karena hanya YWL yang mempunyai program kerja untuk melakukan Revolusi Sosial yang Damai demi Kemakmuran Rakyat. Dan karena hanya YWL yang memiliki Guru Sejati yaitu Tuhan Penguasa Alam Raya ini & Jati Dirinya.

Jika dicermati perjalanan hidup YWL yang memulai hidupnya di Desa terpencil jauh dari Rumah Sakit, jauh dari SD-nya tempat memulai awal sekolahnya, jauh dari Jalanan beraspal, jauh dari layanan Listrik, Air Bersih & Telepon, jauh dari seluruh fasilitas umum perkotaan, dan telah menjalani hampir seluruh profesi mulai dari bertani, beternak, nelayan, pekerja rumah tangga, tukang gerobak, kuli bangunan, kuli pelabuhan, guru ngaji, kepala desa, dosen, kontraktor, pengusaha, pernah menjadi pemantau sidang Istimewa DPR MPR, pernah aktif di salah satu partai, pendiri LIMI (Lembaga Ikra Masyarakat Indonesia), pendiri INMI (Ikatan Nurani Masyarakat Indonesia), penggagas Gerakan Moral Bayar Utang Negara Indonesia di Tingkat GBHN RI, Ketua Yayasan GAMA Nusantara, Sekretaris Yayasan STAI DDI Makassar, & Ketua Lembaga Garuda 101 yang berjuang untuk mewujudkan kemakmuran sejati Rakyat & Bangsa Indonesia, juga telah berkunjung hampir ke seluruh pelosok Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Ia menjadi tempat curahan seluruh keluh kesah masyarakat umum, mulai dari masalah ekonomi, pendidikan, sosial, keimanan/keyakinan, penyakit/kesehatan, dll adalah konsumsi kesehariannya. Dapat dibayangkan betapa dalam YWL memahami & merasakan penderitaan Rakyat Indonesia & Manusia secara umum.

Ia bagaikan hidup dalam nadi: setiap orang yang perutnya kosong menjerit minta makan, dalam diri setiap orang yang membutuhkan pakaian, pada setiap orang yang terlunta-lunta hidupnya butuh tempat tinggal, pada setiap anak yang belum mengecap pendidikan yang layak, pada setiap orang yang menderita sakit tapi tak mampu membayar layanan kesehatan rumah sakit, pada setiap orang yang butuh pekerjaan demi pemenuhan kebutuhan diri & keluarga, pada setiap orang yang butuh perbaikan hidup yang lebih layak & lebih bermartabat, pada setiap orang yang merasakan ketidakadilan pedang hukum/law, pada setiap orang yang terambil hak-haknya secara paksa...

Ia bagaikan hujan besar yang muncul pada saat dahaga berkepanjangan telah dirasakan oleh Rakyat & Bangsa ini.

Oh TUHAN Penguasa Alam Semesta ini, tolonglah kami... Jadikanlah YWL sebagai WakilMU & menjadi Pemimpin di muka Bumi ini untuk memperbaiki hidup kami menuju pada kemakmuran sejati. Karena sesungguhnya hanya Tangan TUHAN-lah yang bekerja dengan sangat ajaib & dahsyat tanpa mampu dihindari atau dihalangi oleh apapun & siapapun. Dan karena sesungguhnya Laa Haula Walaa Quwwata ILLAH BILLAH... Amiiin Ya RABBUL ALAMIIIN...

Planet Luar Angkasa


Luar angkasa atau angkasa luar atau antariksa (juga disebut sebagai angkasa), merujuk ke bagian yang relatif kosong dari Jagad Raya, di luar atmosfer dari benda “celestial”. Istilah luar angkasa digunakan untuk membedakannya dengan ruang udara dan lokasi “terrestrial”.

Karena atmosfer Bumi tidak memiliki batas yang jelas, namun terdiri dari lapisan yang secara bertahap semakin menipis dengan naiknya ketinggian, tidak ada batasan yang jelas antara atmosfer dan angkasa. Ketinggian 100 kilometer atau 62 mil ditetapkan oleh Federation Aeronautique Internationale merupakan definisi yang paling banyak diterima sebagai batasan antara atmosfer dan angkasa.

Di Amerika Serikat, seseorang yang berada di atas ketinggian 80 km ditetapkan sebagai astronot. 120 km (75 mil atau 400.000 kaki) menandai batasan di mana efek atmosfer menjadi jelas sewaktu proses memasuki kembali atmosfir (re-entry). (Lihat juga garis Karman).

Batasan menuju angkasa

  • 4,6 km (15.000 kaki) — FAA menetapkan dibutuhkannya bantuan oksigen untuk pilot pesawat dan penumpangnya.
  • 5,3 km (17.400 kaki) — Setengah atmosfer Bumi berada di bawah ketinggian ini
  • 16 km (52.500 kaki) — Kabin bertekanan atau pakaian bertekanan dibutuhkan
  • 18 km (59.000 kaki) — Batasan atas dari Troposfer
  • 20 km (65.600 kaki) — Air pada suhu ruangan akan mendidih tanpa wadah bertekanan (kepercayaan tradisional yang menyatakan bahwa cairan tubuh akan mulai mendidih pada titik ini adalah salah karena tubuh akan menciptakan tekanan yang cukup untuk mencegah pendidihan nyata)
  • 24 km (78.700 kaki) — Sistem tekanan pesawat biasa tidak lagi berfungsi
  • 32 km (105.000 kaki) — Turbojet tidak lagi berfungsi
  • 45 km (148.000 kaki) — Ramjet tidak lagi berfungsi
  • 50 km (164.000 kaki) — Stratosfer berakhir
  • 80 km (262.000 kaki) — Mesosfer berakhir
  • 100 km (328.000 kaki) — Permukaan aerodinamika tidak lagi berfungsi

Proses masuk-kembali dari orbit dimulai pada 122 km (400.000 ft).

Angkasa tidak sama dengan orbit

Kesalahan pengertian umum tentang batasan ke angkasa adalah orbit terjadi dengan mencapai ketinggian ini. Orbit membutuhkan kecepatan orbit dan secara teoritis dapat terjadi pada ketinggian berapa saja. Gesekan atmosfer mencegah sebuah orbit yang terlalu rendah.

Ketinggian minimal untuk orbit stabil dimulai sekitar 350 km (220 mil) di atas permukaan laut rata-rata, jadi untuk melakukan penerbangan angkasa orbital nyata, sebuah pesawat harus terbang lebih tinggi dan (yang lebih penting) lebih cepat dari yang dibutuhkan untuk penerbangan angkasa sub-orbital.

Mencapai orbit membutuhkan kecepatan tinggi. Sebuah pesawat belum mencapai orbit sampai ia memutari Bumi begitu cepat sehingga gaya sentrifugal ke atas membatalkan gaya gravitasi ke bawah pesawat. Setelah mencapai di luar atmosfer, sebuah pesawat memasuki orbit harus berputar ke samping dan melanjutkan pendorongan roketnya untuk mencapai kecepatan yang dibutuhkan; untuk orbit Bumi rendah, kecepatannya sekitar 7,9 km/s (28.400 km/jam — 18.000 mill/jam). Oleh karena itu, mencapai ketinggian yang dibutuhkan merupakan langkah pertama untuk mencapai orbit.

Energi yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan untuk orbit bumi rendah 32MJ/kg sekitar dua puluh kali energi yang dibutuhkan untuk mencapai ketinggian dasar 10 kJ/km/kg

Keraton Pontianak "Yang Bersejarah..."


Kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang kunjungan saya ke Keraton Kadariah Pontianak. Letaknya tak jauh dari pusat kota Pontianak, hanya membutuhkan waktu kira-kira 15 menit. Untuk menuju lokasi ini, kita harus masuk dulu ke wilayah perkampungan Bugis Dalam.

Bangunan keraton yang tersusun dua lantai langsung tampak saat kita memasuki halaman keraton. Bangunannya semua terbuat dari kayu dan model bangunan adalah bangunan khas suku melayu yakni rumah panggung. Kondisi bangunan keraton terkesan kusam, dan cat bangunan sudah mulai luntur. Warna kuning mendominasi rumah ini, hal ini tampak pada sebagian besar furniture dan pelengkapnya di sini berwarna kuning. Berdasarkan informasi yang saya lihat di papan-papan informasi yang ada di dalam keraton ini, keraton ini dibangun oleh Sultan Syarif Al-Qadrie pada tahun 1771.

Berkunjung ke keraton ini serasa berkunjung ke museum dan belajar sejarah lagi, karena di dalam keraton ini dipajang benda-benda bersejarah antara lain meriam, foto-foto anggota, keluarga keramik hadiah dari negara lain, tempat tidur, mimbar, serta benda-benda bersejarah lainnya. Setiap benda-benda yang dipajang tersebut selalu dilengkapi dengan Interpretasinya sehingga banyak ilmu dan pengetahuan yang dapat kita dapat jika kita berkunjung ke tempat ini. Selain itu, dipajang pula informasi dan sejarah tentang Sultan Hamid II, yang merupakan keturunan dari Sultan Syarif Al-Qadrie yang merupakan pencipta lambang burung Garuda, maskot negara kita yang membuat saya mengingat-ingat kembali materi pelajaran sejarah pada saat sekolah dulu.

Ada satu barang yang dipajang di keraton yang membuat saya tertarik, yakni cermin seribu atau a thousand mirror. Dua cermin yang sama diletakkan berhadapan di ruang lobi keraton, jika kita bercermin, maka bayangan kita akan terpantulkan oleh cermin dibelakang kita sehingga akan nampak banyak bayangan. Inilah alsan mengapa cermin itu disebut cermin seribu. Berdasarkan informasi yang tertulis di bawahnya, cermin ini merupakan hadiah dari perancis sebagai hadiah untuk sang Sultan.

Ukuran keraton yang tidak terlalu besar, membuat saya membutuhkan kurang lebih 20 menit saja untuk mengelilingi keraton dan melahap semua informasi di dalamnya. Saat saya hendak meninggalkan keraton, ada seorang nenek menghampiri saya dan berkata “ Dek, nanti jangan lupa masukkan sumbangan untuk pengelolaan keraton ini ya di kotak itu“, sambil menunjuk sebuah kotak kuning di sudut ruangan.

Saya pun bertanya pada sang nenek, “ Iya Nek, ngomong-ngomong nenek siapa?”.

“Saya anggota keluarga sultan”, sambil tersenyum dan menunjuk foto dirinya di salah satu foto keluarga yang terpampang di keraton ini. Sungguh miris, batin saya mengetahui sang Keluarga Sultan yang dulu berjaya kini harus menjadi penjaga keraton dan juga meminta sumbangan untuk pengelolaan keraton. Andai saja pemerintah lebih peduli, maka tak perlu lagi sang keluarga istana itu harus berjuang sendiri mengelola asset sejarah ini yang juga menjadi identitas negara kita ini.

Tugu Khatulistiwa di *Kota Ponntianak*


Kota Pontianak menjadi istimewa karena dilalui garis khayal Equator atau garis Khatulistiwa. Garis itu membagi bumi ini menjadi dua bagian, yakni belahan utara dan selatan. Bila berdiri di titik lintang 0 derajat itu, jelas membuahkan kebanggaan tersendiri.

Keistimewaan itu bermula dari ekspedisi internasional yang dipimpin oleh ahli geografi berkebangsaan Belanda tahun 1928. Tujuannya untuk menentukan titik atau tonggak garis Equator di Kota Pontianak. Setelah ditemukan, lalu dibangun sebuah tonggak dengan bentuk tanda panah di puncaknya. Itu penanda bahwa Kota Pontianak dilalui garis Khatulistiwa.

Tahun 1930 tonggak tersebut ditambah dengan bentuk lingkaran di puncaknya. Delapan tahun kemudian, tepatnya 1938, tonggaknya disempurnakan kembali oleh arsitek bernama Silaban dengan empat tonggak dari kayu belian. Masing-masing tonggak berdiameter 0,30 meter. Dua tonggak bagian depan setinggi 3,05 meter dan dua tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan tanda panah setinggi 4,40 meter.

Tahun 1990, Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi total dengan penambahan kubah dan sekaligus duplikat tugu khatulistiwa dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tonggak yang asli. Dua tonggak bagian depan herdiameter 1,5 meter dengan tinggi 15,25 meter dari permukaan tanah. Dua buah tongak di belakang tempat lingkaran dan tanda panah berdiameter 1,5 meter dengan ketinggian 22 meter dari permukaan tanah. Sedangkan panjang tanda panah 10,75 meter.

Di bagian bawahnya terdapat plakat bertuliskan 109 derajat 20’00″ OLVGR yang menunjukkan letak berdirinya Tugu Khatulistiwa di garis bujur timur. Peresmian duplikat Tugu Khatulistiwa ini tanggal 21 September 1991 oleh Pardjoko Suryokusumo, Gubernur Kalimantan Barat saat itu.

Bagian bawah Tugu Khatulistiwa terdapat garis yang diwakili oleh lantai dengan warna yang berbeda. Saat terjadi titik kulminasi sinar matahari, semua benda di sekitar tempat ini tidak memiliki bayangan akibat posisinya tegak lurus dengan matahari. Peristiwa itu selalu diperingati secara meriah oleh masyarakat di Pontianak. Berbagai tarian khas Pontianak memeriahkan acara tersebut, sambil menunggu waktu dimana terjadinya titik kulminasi.

Tugu khatulistiwa ini buka setiap hari dari pukul 07.15 hingga pukul 16.00. Pengunjung dapat melihat-lihat dokumentasi perjalanan sejarahnya, disamping mempelajari pengetahuan tentang bumi dan astronomi. Di dalam tugu terdapat papan informasi kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara setiap tahunnya. Setiap pengunjung akan mendapatkan sertifikat gratis yang ditandatangani oleh Walikota Pontianak.

Untuk membuktikan bahwa Tugu Khatulistiwa berada di garis lintang nol derajat, datang saja ke tugu ini setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Pada tanggal tersebut saat matahari berada di atas kepala, bayangan kita, tugu, dan benda tegak lain di sekitar tugu tidak nampak.